Contoh Makalah Tentang Pendarahan Pasca Persalinan

Contoh Makalah Tentang Pendarahan Pasca Persalinan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan yang terjadi segera setelah melahirkan dapat disebabkan oleh banyak penyebab. Sekitar separuh dari kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh kausa pascapartum dini ini. Jika dijumpai perdarahan yang berlebihan, etiologi spesifiknya perlu dicari. Atonia uterus, retensi plasenta termasuk plasenta akreta dan variannya, serta laserasi saluran genital merupakan penyebab tersering perdarahan dini.

Perdarahan intrapartum atau pascapartum dini yang parah kadang-kadang diikuti oleh kegagalan hipofisis (sindrom sheehan) yang ditandai oleh kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontoknya rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme, dan insufisiensi korteks adrenal. Insidensi sindrom sheehan semula diperkirakan adalah 1 per 10.000 persalinan.

Di Amerika Serikat, sindrom ini tampaknya sudah semakin jarang dijumpai. Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran.

Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).

1.2 Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan perdarahan pasca persalinan?
  2. Bagaimana fisiologi dari atonia uteri?
  3. Bagaimana patofisiologi dari atonia uteri?
  4. Apa saja etiologi dari atonia uteri?
  5. Bagaimana faktor predisposisi dari atonia uteri?
  6. Bagaimana tanda dan gejala dari atonia uteri?
  7. Bagaimana manifestasi klinis dari atonia uteri?
  8. Bagaimana penatalaksanaan dari atonia uteri?
  9. Bagaimana pencegahan dari atonia uteri?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan atonia uteri?

1.3 Tujuan
  1. Mengetahui pengertian perdarahan pasca persalinan.
  2. Mengetahui fisiologi dari atonia uteri.
  3. Mengetahui patofisiologi dari atonia uteri
  4. Mengetahui etiologi dari atonia uteri.
  5. Mengetahui faktor predisposisi dari atonia uteri.
  6. Mengetahui tanda dan gejala dari atonia uteri.
  7. Mengetahui manifestasi dari atonia uteri.
  8. Mengetahui penatalaksanaan dari atonia uteri
  9. Mengetahui pencegahan dari atonia uteri.
10. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan atonia uteri.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Atonia Uteri
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002). Setelah plasenta lahir, fundus harus selalu di palpasi untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Kegagalan uterus untuk berkontraksi setelah melahiirkan sering menjadi penyebab perdarahan obstetris.

Faktor predisposisi atonia uteri diperlihatkan di Tabel 56-1. Pembedahan antara perdarahan akibat atonia uterus dan akibat laserasi secara tentatif di dasarkan pada kondisi uterus. Uterus yang atoniik akanlembek dan tidak keras pada palpasi. Jika tetap terjadi perdarahan meskipun uterus berkontraksi dengan kuat, kausa perdarahanya kemungkinan besar adalah laserasi.

Darah yang merah segar juga mengisyaratkan laserasi. Uuntuk memastikan peran laserasi sebagai kausa perdarahan, harus dillakukan pemeriksaan yang cermat terhadap v4g1n4, serviks dan uterus.  Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh atonia dan trauma, terutama setelah pelahiran operatif mayor. Secara umum, setelah setiap kelahiran harus dilakukan inspeksi terhadap inspeksi terhadap serviks dan v4g1n4 untuk mengidentifkasi perdarahan akibat laserasi.

Anestesi harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman selama pemeriksaan ini. Pemeriksaan ringga uterus, serviks dan seluruh v4g1n4 merupakan hal yang esensial setelah ekstraksi bokong, setelah versi podalik iinterna, dan setelah persalinan pervaginam pada seorang wanita dengan riwayat sesar. (Leveno, Kennethj. 2009.)

2.2 Fisiologi
Kontrol normal perdarahan di tempat pelekatan plasenta. Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/ mnt darah mengalir melalui ruang antarvilus. Saat plasenta terlepas, banyak arteri dan vena yang menyalurkan darah menuju dan dari plasenta terputus secara mendadak.

Di tempat implantasi plasenta, diperlukan kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh-pembuluh tersebut dan menyebabkan obliterasi lumen agar perdarahan dapat dikendalikan. Potongan plasenta atau bekuan darah yang melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi efektif miometrium sehingga hemostasis di tempat implantasi tersebut terganggu.

Jika miometrium di tempat implantasi plasenta dan disekitarnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil kemungkinan terjadi perdarahan yang fatal meskipun terjadi gangguan mekanisme pembekuan yang hebat. Selama kala tiga persalinan, akan terjadi perdarahan tak-terhindarkan yang disebabkan oleh pemisahan parsial sementara plasenta.

Sewaktu plasenta terlepas, darah dari tempat implantasi dapat cepat lolos kedalam v4g1n4 (pemisahan duncan) atau tersembunyi di balik plasenta dan membran (pemisahan schultze) sampai plasenta lahir. Pengeluaran plasenta harus diupayakan melalui tekanan manual di fundus seperti di jelaskan di Bab 19.

Turunnya plasenta ditandai oleh kendurnya tali pusat. Jika perdarahan menetap, diindikasikan pengeluaran plasenta secara manual. Uteus harus di pijat jika tidak berkontraksi dengan kuat. (Leveno, Kennethj 2009).

2.3 Ptofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya.

Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987). Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri.

Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard, 1965). Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan kemuungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan. Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum.

Wanita dengan paritas tinggi mungkin berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar 2,7 persen pada para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para 4 atau lebih.

Risiko lain adalah wanita yang bersangkutan perbah mengalami perdarahan postpartum. Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta selain dari pada mengeluarkannya secara manual. Pemijatan dan penekanan secara terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran darah meningkat. Faktor penyebab terjadinya atonia uteri adalah :

    1. Atonia Uteri
a. Umur  : Umur yang terlalu muda atau tua
b. Paritas : Sering dijumpai para multipara dan grandemultipara
c. Partus lama dan partus terlantar
d. Obstein operatif dan narkosa
e. Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion, atau janin besar
f. Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair pada solusio plasenta.
g. Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
    2. Sisa plasenta dan selaput ketuban
    3. Jalan lahir : robekan perineum, v4g1n4 serviks, famiks dan rahim.
    4. Penyakit darah
    5Kelainan pembekuan darah misalnya hipofibrinogenemia
    6Perdarahan yang banyak
    7Solusio plasenta
    8Kematian janin yang lama dalam kandungan
    9Pre-eklamsi dan eklamsi
    10Infeksi, hepatitis dan septik syok.

2. Enam Tanda dan Gejala Atonia Uteri
    1). Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
    2). Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
    3). Fundus uteri naik.
    4). Terdapat tanda-tanda syok
         a). Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
         b). Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
         c). Pucat
         d). Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
         e). Pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
          f). Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
         g). Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
Baca juga Asuhan Kehamilan Dan Persalinan Dengan Penyakit Jantung
Contoh Makalah Tentang Pendarahan Pasca Persalinan
2. Sembilan Pencegahan Atonia Uteri 
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan 0b4t tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.

Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam. Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.

Karbetosin merupakan 0b4t long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

       1). Oksitosin 
Jika uterus tidak keras, diindikasikan pemijatan fundus kuat-kuat. Dua puluh unit (2 ampul) oksitosin dalam 1000 ml ringer laktat atau salin normal umumnya efektif jika diberikan secara intravena dengankecepatan sekitar 10 ml/mnt (200 Mu oksitosin per menit) dibarengi dengan pemijatan uterus. Oksitosin jangan diberikan sebagai dosisi bolus yang tidak diencerkan karena.

       2). Turunan Ergot
Jika oksitosin yang disalurkan secara cepat melalui infus terbukti tidak efektif, sebagian dokter memberikan metilergonovin (Mathergine), 0,2 mg, secara intramuskulus atau intravena. 0b4t ini dapat merangsang uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan. Jika diberikan secara intravena, metilergonovin dapat menyebabkan hipertensi yang berbahaya, teutama pada wanita preeklamsia.

       3). Prostaglandin
Turunan 15 methyl dari prostaglandin F2α (Hemabate) juga dapat digunakan untuk mengatasi atonia uterus. Dosis awal yang dianjurkan adalah 250 µg (0,25 mg) secara intramuskulus, dan hal ini diulangi jika diperlukan dengan interval 15 hingga 90 menit hingga maksimum 8 dosis. Selain kontriksi vaskuler dan saluran napas paru, efek samping lain adalah diare, hipertensi, muntah, demam, flushing dan takikardi.

       4). Perdarahan yang tidak responsif terhadap oksitosik
Perdarahan yang berlanjut setelah beberapa kali pemberian 0b4t oksitosik mungkin berasal dari laserasi jalan lahir, termasuk dari pada beberapa kasus ruptur uterus. Karena itu, jika perdarahan menetap, jangan membuang-buang waktu dengnan melakukan upaya-upaya acak untuk menghentikan perdarahan, tetapi harus segera dimulai suatau penatalaksanaan seperti di Tabel 56-2.

Dengan transfusi dan kompresi uterus dengan tangan serta oksitosin intravena, jarang diperlukan tindakan tambahan. Bila atonia tidak teratasi, mungkin diperlukan histerektomi sebagai tindakan untuk menyelamatkan nyawa. Cara lain yang mungkin berhasil adalah ligasi arteri uterina, ligasi arteri illiaka interna, atau embolisasi angiografik.

       * Ligasi Arteri Iliaka Interna  
Pengikatan arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi secara bermakna perdarahan akibat atonia uterus. Operasii ini lebih mudah dilakukan jika insisi digaris tengah abdomen diperluas keatas melewati umbilikus. Ligasi arteri iliaka interna mengurangi tekanan nadi di arteri sebelah distal dari ikatan sehingga mengubah sistem tekanan arteri menjadi tekanan yang mendekati tekanan disirkulasi vena yang lebih mudah dihentikan melalui pembentukan bekuan biasa. Ligasi bilateral kedua arteri tampaknya tidak secara serius menggangu kemampuan reproduksi selanjutnya. (Leveno, Kennethj 2009 ).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden pendarahan pasca persalinan akibat atonia uteri. Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (400 – 600 µg) segera setelah bayi lahir.

Regangan rahim berlebihan karena gemeli, polihibramnion, atau anak terlalu besar. Kelelahan karena persalinan lama atau persalina kasep. Kehamilan grande-multipara. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. Mioma uteri yang menggangu kontraksi rahim. Infeksi intrauterin (korioamnionitis). Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

4.2 Saran 
Diharapkan perawat serta tenaga kesehatan lainnya mampu meminimalkan faktor risiko dari atonia uteri demi mempertahankan dan meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak. Selain itu , mahasiswa dengan latar belakang medis sebagai calon tenaga kesehatan mampu menguasai baik secara teori maupun skil untuk dapat diterapkan pada masyarakat secara menyeluruh. itulah Contoh Makalah Tentang Pendarahan Pasca Persalinan