Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu) Di Indonesia

Kerajaan mataram kuno (hindu) di Indonesia adalah pokok pembahasan utama yang akan dijelaskan secara lengkap pada artikel dibawah ini. Adapun sub pembahasan tentang sejarah kerajaan mataram kuno (hindu) yang dibahas didalam materi pelajaran Sejarah yakni sebagai berikut :

1. Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu).
2. Nama Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno (Hindu).
3. Susunan Raja-raja Pada Dinasti Syailendra.

Semoga pembahasan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan anda didalam mengetahui sejarah kerajaan mataram kuno (hindu)nama-nama raja pada kerajaan mataram kuno (hindu), serta susunan-susunan raja pada masa Dinasti Syailendra dan menjadi portal referensi tugas, skripsi maupun makalah bagi para pelajar di seluruh wilayah tanah air Indonesia maupun mancanegara.
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu) Di Indonesia

Sejarah Kerajaan Mataram Hindu

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah, dengan pusat lembah Kali Progo, yang meliputi :

1. Magelang
2. Muntilan
3. Sleman
4. Yogyakarta

Ibukotanya Medang kamulan, dengan raja yang pertama kali yang memerintah adalah Raja Sanjaya, penganut Hindu.
Baca ini Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Pusat kerajaan terletak di daerah yang disebut Medang I Bhumi Mataram (Diperkirakan sekitar Prambanan, Klaten, Jawa Tengah). Sumber berita adanya Kerajaan Mataram Kuno adalah Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, dikeluarkan oleh Raja Sanjaya.

Nama Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno (Hindu)

Berdasarkan Prasasti Canggal dapat diketahui bahwa Raja pertama dari Dinasti Sanjaya, adalah Sanjaya. Menurut prasasti ini, Jawadwipa (Pulau Jawa) yang kaya akan Padi dan emas mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, negara menjadi akan kacau.

Kemudian tampillah Sanjaya, anak dari saudari perempuan Raja Sanna yang bernama Sannaha. Sanjaya menaklukkan daerah sekitar Mataram Kuno, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, bahkan memerangi juga Sriwijaya dan kerajaan Melayu.

Setelah Sanjaya wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Panangkaran. Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran, agama Buddha mulai masuk ke Jawa Tengah sehingga keturunan Syailendra sudah ada yang memeluk agama Buddha.
Baca ini Sejarah Perkembangan Agama Buddha
Beberapa keturunan Dinasti Sanjaya sudah ada yang memeluk agama Buddha. Dinasti Syailendra diperkirakan berhasil menggeser kedudukan Dinasti Sanjaya, sehingga Dinasti Sanjaya mengalihkan pemerintahannya ke Jawa Tengah bagian utara. Perkiraan pergeseran pemerintahan Dinasti Sanjaya itu diperkuat dengan adanya peninggalan berupa kompleks Candi Hindu di Gedong Songo (Ungaran) dan di Dieng.

Selain Prasasti Canggal, ada juga Prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti Kalasan disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Prasasti Canggal ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.

Didaerah Sojomerto, Pekalongan ditemukan juga prasasti yang membuka tabir asal usul Wangsa (Dinasti) Sanjaya. Bentuk huruf yang tertulis pada Prasasti Sojomerto sangat tua, yang kemungkinan berasal dari abad ke-5 M. Prasasti Sojomerto berisi tentang nama seorang pejabat tinggi yang bernama Dapunta Syailendra.

Berdasarkan keterangan Prasasti Sojomerto, dapat disimpulkan bahwa Dinasti Syailendra berasal dari Jawa Tengah. Prasasti ini juga menyebutkan tentang Raja Panangkaran yang mendirikan bangunan suci untuk para pendeta dan menghadiahkan Desa Kalaca kepada Sanggha (penganut agama Buddha).
Baca juga Sejarah Masuknya Agama Hindu-Buddha Ke Indonesia

Susunan Raja-raja Pada Dinasti Syailendra

Berdasarkan penelitian para ahli sejarah, dapat dibuat susunan raja-raja dari Dinasti Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah yakni :

1. Raja Bhanu (752-775 M).
2. Raja Wisnu (775-782 M).
3. Raja Indra (782-812 M).
4. Raja Samaratungga (812-833 M).
5. Raja Balaputradewa (833-856 M).

Dinasti Syailendra mengalami penyatuan dengan Dinasti Sanjaya berkat adanya perkawinan politik antara Pramudyawardhani (Putri Samaratungga) dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Namun setelah Samaratungga wafat, terjadi perebutan kekuasaan antara Pramudyawardhani (putri Samaratungga)-Rakai Pikatan dengan Balaputradewa. Balaputradewa akhirnya terdesak lalu pergi ke Sriwijaya dan menjadi Raja disana. Hal ini terjadi karen ibunya adalah salah seorang keturunan Raja Sriwijaya.

Perkawinan Rakai Pikatan dengan Pramudyawardhani ternyata dapat menyatukan pemerintahan. Selain itu, pemeluk agama Hindu dengan pemeluk agama Buddha dapat hidup rukun berdampingan. Pramudyawardhani meneruskan pembangunan Candi Plaosan di Prambanan.

Di Candi Plaosan banyak ditemukan tulisan-tulisan pendek tentang nama Sri Kahulunan dan Rakai Pikatan. Pramudyawardhani juga meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk menjamin pemeliharaan Kamulan atau bangunan suci Bhumisambhara yang kemudian disebut dengan Candi Borobudur.

Di pihak lain, berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Rakai Pikatan segera memulai pembangunan candi-candi Hindu yang megah dan indah, salah satuya adalah Candi Prambanan di Desa Prambanan. Ketika Rakai Pikatan wafat, pembangunan kompleks candi belum selesai. Kemudian diteruskan oleh para penggantinya dan baru selesai pada masa pemerintahan Raja Daksa sekitar tahun 915.

Untuk lebih mengetahui raja-raja yang memerintah di Mataram, Prasasti Kedu atau dikenal juga dengan nama Prasasti Mantyasih (907 M) mencamtumkan silsilah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu ini dibuat pada masa Raja Rakai Dyah Balitung.

Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Balitung. Yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan Candi Prambanan dan Roro Jonggrang. Masa pemerintahan raja-raja Mataram setelah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. Tetapi dapat diketahui nama-nama raja yang memerintah, yakni sebagai berikut :

1. Daksa (913-919 M).
2. Wawa (919-924 M).
3. Tulodhong (924-929 M).
4. Empu Sindok (929-948 M).

Pada tahun 929 M ia memindahkan ibukota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur). Selanjutnya Empu Sindok ini mendirikan dinasti baru yang bernama Isanawangsa dan menjadikan Wulunggaluh sebagai pusat kerajaan. Empu Sindok ini memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.

Empu Sindok kemudian digantikan oleh Sri IsanaTunggawijaya yang memerintah sebagai ratu. Ia menikah dengan Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri Makutawang Swardhana.

Pada akhir abad ke-10 M, Mataram selanjutnya diperintah oleh Sri Dharmawangsa yang memerintah sampai tahun 1016 M. Ia adalah seorang keturunan Empu Sindok. Berdasarkan berita dari tiongkok, disebutkan bahwa Sri Dharmawangsa pada tahun 990 M mengadakan serangan ke Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan sriwijaya.

Serangan tersebut gagal, malah Sriwijaya berhasil menghasut Raja Wurawari (sekitar banyumas) untuk menyerang istana Sri Dharmawangsa pada tahun 1016. Dari sini mulai terjadi kehancuran Dharmawangsa, setelah Wurawari melakukan penyerangan ke istana.

Peristiwa ini menewaskan seluruh keluarga raja termasuk Sri Dharmawangsa sendiri, dan hanya Airlangga yang berhasil menyelamatkan diri. Airlangga berhasil menyelamatkan diri bersama Purnarotama dengan bersembunyi di Wonogiri (hutan Gunung). Di sana ia hidup sebagai seorang pertapa.

Pada tahun 1019, Airlangga (Menantu Sri Dharmawangsa) dinobatkan menjadi seorang Raja menggantikan Sri Dharmawangsa oleh para pendeta Budha. Ia segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya. Airlangga menantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari india selatan.

Selanjutnya tahun 1037, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Sri Dharmawangsa. Airlangga juga memindahkan ibu kota kerajaannya dari daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga menyerahkan kekuasaaannya pada putrinya yang bernama Sangrama Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama petapa Ratu Giriputri. Selanjutnya Airlangga memerintahkan Empu Bharada untuk membagi dua kerajaan, Yaitu sebagai berikut :

1. Kerajaan Jaggala
Kerajaan Jaggala disebelah timur diberikan kepada putra sulungnya Garasakan (Jayengrana) dengan ibu kota di kahuripan (jiwana) meliputi daerah sekitar Surabaya sampai pasuruan.
2. Kerajaan Panjalu (Kendiri)
Kerajaan Panjalu di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa), dengan ibu kota di kediri (Daha), meliputi daerah sekitar kediri dan madiun.

Demikian pembahasan mengenai sejarah kerajaan Mataram Kuno (Hindu) di Indonesia.